Minggu, 13 Desember 2009

ILMU PENGETAHUAN ALAM DALAM KAJIAN FILSAFAT

ABSTRAKSI

Bagi para pendidik atau guru mempelajari filsafat itu akan besar sekali manfaatnya. Seorang guru dituntut memiliki wawasan yang luas mengenai profesinya. Ia harus mengetahui hakekat pendidikan dan hekekat tujuan pendidikan. Dasar-dasar pendidikan dan tehnik-tehnik penyampaian materi pelajaran sehingga mudah menjadi milik anak. Berpikir secara filsafat bagi guru terasa sangat penting dalam menghadapi ilmu dan tehnologi yang semakin maju seperti sekarang ini. Ia akan dengan mudah menghadapi kepesatan kemajuan ilmu dan teknologi. Selain itu ia akan selalu berpikir kreatif, bersikap terbuka terhadap pembaharuan sehingga dia tidak ketinggalan jaman
Filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam pendidikan (Kneller, 1971). Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman maupun faktafakta pendidikan, dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh sains pendidikan. Seorang guru, baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana pendidikan, perlu mengetahui filsafat pendidikan. Seorang guru perlu memahami dan tidak boleh buta terhadap filsafat pendidikan, karena tujuan pendidikan senantiasa berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan kehidupan individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan
Filsafat pendidikan harus mampu memberikan pedoman kepada para pendidik (guru). Hal tersebut akan mewarnai sikap perilakunya dalam mengelola proses belajar mengajar (PBM). Selain itu pemahaman filsafat pendidikan akan menjauhkan mereka dari perbuatan meraba-raba, mencoba-coba tanpa rencana dalam menyelesaikan masalahmasalah pendidikan.
Pengetahuan alam adalah studi besaran, struktur, ruang, relasi, perubahan, dan beraneka topik pola, bentuk, dan entitas. Para sciencetis mencari pola dan dimensi-dimensi kuantitatif lainnya, berkenaan dengan bilangan, ruang, ilmu pengetahuan alam, komputer, abstraksi imajiner, atau entitas-entitas lainnya. Dalam pandangan formalis, matematika dan pengetahuan alam adalah pemeriksaan aksioma yang menegaskan struktur abstrak menggunakan logika simbolik dan notasi matematika; pandangan lain tergambar dalam filsafat matematika dan ilmu pengetahuan. Para ilmuan merumuskan konjektur dan kebenaran baru melalui deduksi yang menyeluruh dari beberapa aksioma dan definisi yang dipilih dan saling bersesuaian.







BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Pengertian Filsafat
Secara epistimologi, filsafat berasal dari bahasa Yunani Philosophia, dan terdiri dari kata Philos yang berarti kesukaan atau kecintaan terhadap sesuatu, dan kata Sophia yang berarti kebijaksanaan. Secara harafiah, filsafat diartikan sebagai suatu kecintaan terhadap kebijaksanaan (kecenderungan untuk menyenangi kebijaksanaan). Namun pertanyaan kita selanjutnya adalah bagaimana kita mendefinisi filsafat itu sendiri? Hamersma (1981: 10) mengatakan bahwa filsafat merupakan pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan Jadi, dari definisi ini nampak bahwa kajian filsafat itu sendiri adalah realitas hidup manusia yang dijelaskan secara ilmiah guna memperoleh pemaknaan menuju “hakikat kebenaran”.
Sebenarnya, pengertian tentang filsafat cukup beragam. Titus et.al (dalam Muntasyir&Munir, 2002: 3) memberikan klasifikasi pengertian tentang filsafat, sebagai berikut :
Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis (arti informal).
Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi (arti formal).
Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Artinya filsafat berusaha untuk mengombinasikan hasil bermacam-macam sains dan pengalaman kemanusiaan sehingga menjadi pandangan yang konsisten tentang alam (arti spekulatif)
Filsafat adalah analisis logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep. Corak filsafat yang demikian ini dinamakan juga logosentris.
Filsafat adalah sekumpulan problema yang langsung, yang mendapat perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.

1.2. Ciri-Ciri Berpikir Dalam Filsafat
Dalam memahami suatu permasalahan, ada perbedaan tentang karakteristik dalam berfikir antara filsafat dengan ilmu-ilmu lain. Mudhofir dalam Muntasyir&Munir (2002: 4-5) mengatakan bahwa ciri-ciri berfikir kefilsafatan sebagai berikut :
Radikal, artinya berpikir sampai ke akar-akarnya, hingga sampai pada hakikat atau substansi yang dipikirkan.
Universal, artinya pemikiran filsafat menyangkut pengalaman umum manusia. Kekhususan berpikir kefilsafatan menurut Jespers terletak pada aspek keumumannya.
Konseptual, artinya merupakan hasil generalisasi dan abstraksi pengalaman manusia. Misalnya : Apakah Kebebasan itu ?
Koheren atau konsisten (runtut). Koheren artinya sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir logis. Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi.
Sistematik, artinya pendapat yang merupakan uraian kefilsafatan itu harus saling berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu.
Komprehensif, artinya mencakup atau menyeluruh. Berpikir secara kefilsafatan merupakan usaha untuk menjelaskan alam semesta secara keseluruhan.
Bebas, artinya sampai batas-batas yang luas, pemikiran filsafati boleh dikatakan merupakan hasil pemikiran yang bebas, yakni bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural, bahkan relijius.
Bertanggungjawab, artinya seseorang yang berfilsafat adalah orang-orang yang berpikir sekaligus bertanggungjawab terhadap hasil pemikirannya, paling tidak terhadap hati nuraninya sendiri.

1.3. Bidang dalam Filsafat
Secara umum, bidang-bidang utama filsafat terbagi menjadi 3 bagian, yaitu metafisika, epistimologi dan aksiologi. Secara ringkas ketiga bidang tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
Metafisika. Metafisika berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta ta physika yang berarti segala sesuatu yang berada di balik hal-hal yang sifatnya fisik. Metafisika sendiri dapat diartikan sebagai cabang filsafat yang paling utama, yang membicarakan mengenai keberadaan (being) dan eksistensi (existence). Oleh karena itu, metafisika lebih mempelajari sesuatu atau pemikiran tentang sifat yang terdalam (ultimate nature) dari kenyataan atau keberadaan. Menurut Wolff, metafisika dapat diklasifikasikan ke dalam 2 kategori, yaitu :
Metafisika Umum (Ontologi), yaitu metafisika yang membicarakan tentang “Ada” (Being).
Metafisika Khusus, yaitu metafisika yang membicarakan sesuatu yang sifatnya khusus. Dalam metafisika khusus ini, Wolff membagi ke dalam 3 (tiga) kategori :
Psikologi, yang membahas mengenai hakekat manusia
Kosmologi, yang membahas mengenai alam semesta
Theologi, yang membahas mengenai
Epistimologi. Epistimologi berasal dari kata Episteme yang berarti pengetahuan (knowledge) dan logos yang berarti teori. Oleh karena itu, epistimologi berarti teori pengetahuan. Permasalahan-permasalahan yang menjadi fokus pembicaraan epistimologi adalah asal-usul pengetahuan, peran pengalaman dan akal dalam pengetahuan, hubungan antara pengetahuan dan kebenaran, dan sebagainya. Dalam epistimologi, pengetahuan merupakan suatu aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan kebenaran.
Aksiologi. Aksiologi berasal dari kata axios yang berarti nilai atau sesuatu yang berharga, dan logos yang berarti akal atau teori. Oleh karena itu, aksiologi dapat diartikan sebagai teori mengenai sesuatu yang bernilai. Dalam cabang ini, salah satu yang paling mendapatkan perhatian adalah masalah etika/kesusilaan. Dalam etika, obyek materialnya adalah perilaku manusia yang dilakukan secara sadar. Sedangkan obyek formalnya adalah pengertian mengenai baik atau buruk, bermoral atau tidak bermoral dari suatu perilaku manusia.

1.4. Definisi filsafat Ilmu
Menurut Beerling (1985; 1-2) filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperolehnya. Dengan kata lain filsafat ilmu sesungguhnya merupakan suatu penyelidikan lanjutan. Dia merupakan suatu bentuk pemikiran secara mendalam yang bersifat lanjutan atau secondary reflexion. Refleksi sekunder seperti itu merupakan syarat mutlak untuk menentang bahaya yang menjurus kepada keadaan cerai berai serta pertumbuhan yang tidak seimbang dari ilmu-ilmu yang ada. Refelksi sekunder banyak memberi sumbangan dalam usaha memberi tekanan perhatian pada metodikaserta sistem dan untuk berusaha memperoleh pemahaman mengenai azas-azas, latar belakang serta hubungan-hubungan yang dipunyai kegiatan ilmiah. Sumbangan tersebut bisa berbentuk (1) mengarahkan metode-metode penyelidikan ilmiah kejuruan kepada penyelenggaaraan kegiatan ilmiah; (2) menerapkan penyelidikan kefilsafatan terhadap terhadap kegiatan-kegiatan ilmiah. Dalam hal ini mempertanyakan kembali secara de-jure mengenai landasan-landasan serta azas-azas yang memungkinkan ilmu itu memberi pembenaran pada dirinya serta apa yang dianggapnya benar.
Filsafat ilmu adalah refleksi yang mengakar terhadap prinsip-prinsip ilmu. Prinsip ilmu adalah sebab fundamental dan kebenaran universal yang lengket didalam ilmu yang pada akhirnya memberi jawaban terhadap keberadaan ilmu. Dengan mengetahui seluk-beluk prinsip ilmu itu maka dapat diungkapkan perspektif-perspektif ilmu, kemungkinan-kemungkinan perkembangannya, keterjalinan antar ilmu, ciri penanganan secara ilmiah, simplifikasi dan artifisialitas ilmu dan sebagainya yang vital bagi penggarapan ilmu itu sendiri (Suriasumantri, 1986; 301-302). Filsafat ilmu pengetahuan membahas sebab musabab pengetahuan dan menggali tentang kebenaran, kepastian, dan tahap-tahapnya, objektivitas, abstraksi, intuisi, dan juga pertanyaan mengenai “dari mana asalnya dan kemana arah pengetahuan itu?” (Verhaak & Haryono, 1989; 12-13).
Perbedaan filsafat ilmu dengan filsafat atau ilmu-ilmu lain seperti sejarah ilmu, psikologi, sosiologi, dan sebagainya terletak apada masalah yang hendak dipecahkan dan metode yang akan digunakan. Filsafat ilmu tidak berhenti pada pertanyaan mengenai bagaimana pertumbuhan serta cara penyelenggaraan ilmu dalam kenyatannya, melainkan mempermasalahkan masalah metodologik, yakni mengenai azas-azas serta alasan apakah yang menyebabkan ilmu dapat menyatakan bahwa ia memperoleh pengetahuan ilmiah (Beerling, 1985; 2). Pertanyaan seperti itu tidak dapat dijawab oleh ilmu itu sendiri tetapi membutuhkan analisa kefilsafatan mengenai tujuan serta cara kerja ilmu. Pertalian antara filsafat dan ilmu harus terjelma dalam filsafat ilmu. Kedudukan filsafat iilmu dalam lingkungan fisafat secara keseluruhan adalah pertama, bahwa filsafat ilmu berhubungan erat dengan filsafat ilmupengetahuan (epistemologi); kedua, filsafat ilmu erat hubungannya dengan logika dan metodologi, dan dalam hal ini kadang-kadang filsafat ilmu dijumbuhkan denganmetodologi (Beerling, 1985; 4). Hubungan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan lebih erat dalam bidang ilmu pengetahuan manusia. Ilmu-ilmu manusia seringkali lebih jelas masih mempunyai filsafat ilmu tersembunyi (Bertens, 1987; 21 dan Katsoff, 1986; 105-106).






















BAB II
HAKIKAT ILMU PENGETAHUAN DARI PERSPEKTIF FILSAFAT

2.1. Hubungan Filsafat dengan Ilmu Pengetahuan.
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren (“bertalian”) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan. Antara definisi filsafat dan ilmu pengetahuan memang hampir mirip namun kalau kita menyimak bahwa di dalam definisi ilmu pengetahuan lebih menyoroti kenyataan tertentu yang menjadi kompetensi bidang ilmu pengetahuan masing-masing, sedangkan filsafat lebih merefleksikan kenyataan secara umum yang belum dibicarakan di dalam ilmu pengetahuan (Muntasyir&Munir,2000: 10). Walaupun demikian, ilmu pengetahuan tetap berasal dari filsafat sebagai induk dari semua ilmu pengetahuan yang berdasarkan kekaguman atau keheranan yang mendorong rasa ingin tahu untuk menyelidikinya, kesangsian, dan kesadaran akan keterbatasan. Wibisono (1997: x) pada Artikel kunci “Gagasan Strategik Tentang Kultur Keilmuan Pada Pendidikan Tinggi”, yang mengambil pendapat H.J. Pos, beliau menandaskan bahwa abad ke-19 dan 20, dan bahkan sampai sekarang, diidentifikasi sebagai suatu abad yang ditandai oleh dominasinya peran ilmu pengetahuan dalam kehidupan umat manusia.
Dominasi ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia memang tidak dapat dipungkiri. Betapa tidak, dominasi ini paling kurang membawa pengaruh dan manfaat bagi manusia, atau justru berpengaruh negatif dan membawa malapetaka. Seperti yang diungkapkan oleh Ridwan Ahmad Syukri (1997: 18-19), ilmu yang berorientasi pada kepentingan pragmatis, orientasi duniawi, atau mengesampingkan yang transenden, akan membawa malapetaka bagi kemanusiaan pada umumnya. Ilmu dinilai bukan karena dirinya sendiri, tetapi nilai ilmu pengetahuan berada dalam kesanggupannya membuat kehidupan lebih bernilai dan memberikan kebahagiaan, demi kebutuhan untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan manusia, maka bentuk ilmu itu memberikan kemanfaatan.
Selanjutnya, dalam bukunya yang berjudul Epistemologi Dasar, J. Sudarminta mengatakan bahwa ciri-ciri hakiki pengetahuan manusia yaitu:
kepastian mutlak tentang kebenaran segala pengetahuan kita memang tidak mungkin, sebab manusia adalah makhluk contingent dan fallible. Tetapi ini tidak berarti bahwa semua pengetahuan manusia pantas dan perlu dipergunakan kebenarannya. Maka, skeptisisme mutlak pantas ditolak.
subjek berperan aktif dalam kegiatan mengetahui dan tidak hanya bersifat pasif menerima serta melaporkan objek apa adanya. Tetapi ini tidak berarti bahwa pengetahuan manusia melulu bersifat subjektif. Maka, subjektivisme radikal juga pantas disangkal.
pengetahuan manusia memang bersifat relasional dan kontekstual, tetapi itu tidak berarti bahwa objektivitas dan universalitas pengetahuan menjadi tidak mungkin. Menurut Sudarminta (2002: 60) pelbagai bentuk relativisme ilmu pengetahuan, walaupun punya sumbangan yang berharga, merupakan suatu pandangan tentang pengetahuan yang tidak bisa diterima.

2.2. DASAR-DASAR ILMU PENGETAHUAN
Aristoteles mengawali metafisikanya dengan pernyataan “setiap manusia dari kodratnya ingin tahu”. Tetapi jauh sebelum Aristoteles, Socrates mengatakan hal yang nampaknnya bertentangan dengan ungkapan Aristoteles tersebut, yaitu bahwa tidak ada seorang manusia pun yang mempunyai pengetahuan (Hadi, 1994: 13). Kontradiktif ini tidak perlu diperdebatkan. Sebab menurut Plato bahwa filsafat dimulai dengan rasa kagum. Kekaguman filosofis ini bukanlah kekaguman akan hal-hal yang rumit, canggih atau kompleks, tetapi justru kekaguman akan sesuatu yang sederhana yang tampaknya jelas dalam pengalaman sehari-hari. Hadi (1994: 14-15) menyatakan kekaguman dalam hal ini adalah mempertanyakan hal-hal yang ada dihadakan kita, yang dalam anggapan umum dianggap telah diketahui. Oleh karena itu seseorang harus tahu apa yang dicarinya dan berusaha untuk menemukan apa yang dicari tersebut, demikian menurut Plato.
Pengetahuan filosofis ingin menarik diri dari apa yang dianggap sebagai kejelasan umum untuk kembali ke dalam sesuatu yang eksistensial dalam keadaan aslinya. Karenanya, seorang filsuf tidak ada henti-hentinya bertanya. Pernyataan Socrates dan Aristoteles terkesan bertentangan, padahal sebenarnya tidak. Menurut Aristoteles, semua orang dari kodratnya ingin tahu, dan langkah pertama untuk mencapai pengetahuan itu adalah kesadaran socrates bahwa tidak ada seorang pun yang sudah tahu. Untuk mencapai pengetahuan, Bernard Paduska&R. Turman Sirait ( 1997: 5), seseorang harus sadar bahwa ia “belum tahu” dan karena itu ia “ingin tahu”. Dalam redaksi berbeda, namun dapat disetir menjadi satu makna, bahwa menurut filsafat eksistensialisme anda adalah anda karena anda menghendaki demikian.
Dengan uraian di atas, kita dapat melihat adanya dua macam bentuk pengetahuan, yaitu pengetahuan harian atau penggetahuan biasa (common sense) dan pengetahuan ilmiah. Dalam filsafat, pengetahuan biasa sering dianggap sebagai pengetahuan inderawi, sedangkan pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan berdasarkan akal budi (intelektif). Korelasi pengetahuan indrawi dan pengetahuan intelektif membentuk dasar dalam perkembangan ilmu pengetahuan secara global. Sejarahnya telah terukir, betapa dua konsep dasar ini menjadi cikal-bakal yang meletakkan dasar konsep ilmiah. Keilmuan yang ilmiah dapat lahir dari pengamatan yang mendalam tentang semua objek, tetapi juga dasar ilmiah dapat dibangun dari perenungan yang jernih dan mendalam, terukur dan dapat dianalisa, sistematis serta dapat dipelajari, itulah sebagian konsep ilmiah. Socrates adalah tokoh yang sangat diperhitungkan, meskipun ia tidak secara langsung bicara tentang kebenaran ilmiah. Ketika itu Socrates berhadapan dengan kaum sofis. Filsafat Socrates bahkan sering disebut sebagai reaksi terhadap kaum sofis. Bagi Socrates, kebenaran objektif itu ada, dan bukan hal yang berbau teoritis tapi hidup praktis. Menurutnya, tidak sembarang tingkah laku disebut baik, ada kelakuan yang baik dan ada kelakuan yang kurang baik; ada tindakan yang pantas dan ada tindakan yang jelek. Dengan ini socrates meletakkan dasar berkembangnya gagasan tentang adanya kebenaran, kemudian dilanjutkan dengan oleh Plato. Bagi Plato kebenaran adalah sesuatu yang terdapat pada apa yang dikenal, atau pada apa yang dikejar untuk dikenal . Hal ini sesuai dengan ajaran Plato mengenai idea-idea, bahwa realitas yang sesungguhnya berada didalam dunia idea sedangkan realitas inderawi hanyalah bayang-bayang (Bertens K, 1991: 110-111). Menurut Wibisono dalam makalahnya mengatakan, Sejalan dengan perkembangan filsafat, ilmu pengetahuan pun berkembang dengan pesatnya. Dalam perjalanan selanjutnya, terdapat fenomena adanya suatu konfigurasi yang menunjukkan tentang bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” itu telah tumbuh mekar-bercabang secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang-filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.
Berkaitan dengan ilmu-ilmu, pengetahuan yang dicari dan diperoleh sering disebut dengan istilah pengetahuan ilmiah. Menurut Bahm ( 1980: 1) ada lima unsur pokok dalam suatu pengetahuan yang disebut ilmiah yaitu masalah, sikap, metode, aktivitas, kesimpulan dan pengaruh tertentu. Aristoteles menguraikan sistem berpikir ilmiah yang dikenal dengan logika. Menurut Aristoteles terdapat sepuluh kategori yang berkaitan dengan pengertian, yaitu substanti, kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, keadaan, mempunyai, berbuat, dan menderita.
Pengetahuan ilmiah merupakan pengetahuan yang sudah dipertanggung-jawabkan secara ilmiah atau diperoleh dengan metode ilmiah. Sebaliknya, pengetahuan sehari-hari yang tidak atau belum dipertanggungjawabkan secara ilmiah disebut pengetahuan pra-ilmiah (Lorens, 1996: 806). Salah satu ciri pengetahuan ilmiah adalah adanya anggapan bahwa pengetahuan ilmiah itu berlaku ilmiah. Mengeni apakah sesuatu dapat atau tidak disebut ilmiah tidak tergantung pada faktor-faktor subjektif. Bisa saja orang berbeda pendapat tentang dasar pembenaran suatu teori, tetapi hal tersebut hanya menunjukkan bahwa faktor-faktor objektif yang bersangkut paut dengan persoalan tadi tidak atau masih dapat membuahkan hasil yang tidak bermakna ganda (ambiguitas). Adanya saling pengaruh antara sifat dan kadar pengetahuan ilmiah dengan sarana-sarana untuk mencapainya mengakibatkan pergeseran-pergeseran, pengertian “ilmiah” sepanjang sejarah. Namun demikian perkembangan ilmu secara mandiri harus dapat dipertahankan. Menurut Beerling,dkk (1996: 6-7) secara spesifik ada tiga macam pengenalan dari pengetahuan yang disebut ilmiah. (1) pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang mempunyai dasar pembenaran. Setiap pengetahuan ilmiah harus punya dasar pembenaran berdasarkan pemahaman-pemahaman yang dapat dibenarkan secara apriori serta secara empiris melalui penyelidikan ilmiah yang memadai. (2) pengetahuan ilmiah bersifat sistematis. Penyelidikan ilmiah tidak membatasi diri hanya pada satu bahan saja, tapi senantiasa mencari hubungan dengan sejumlah bahan lainnya dan berusaha agar hubungan-hubungan itu merupakan suatu kebulatan. (3) pengetahuan ilmiah itu adalah bersifat inter-subjektif. Kepastian pengetahuan ilmiah tidak didasarkan atas intuisi-intuisi serta pemahaman orang perorangan yang subjektif, melainkan dijamin oleh sistemnya sendiri. Pengetahuan ilmiah haruslah sedemikian rupa sehingga dalam setiap bagiannya dan dalam bagian yang menyeluruh dapat ditanggapi oleh subjek-subjek lain. Terhadap hasil penyelidikan dimungklinkan ada kesepakatan yang bersifat inter-subjektif.
Di samping apa yang sudah diuraikan di atas, menurut Sudarminta (2002: 32-44) perlu ditambahkan juga bahwa dasar-dasar pengetahuan itu tidak lepas dari peran pengalaman, ingatan, kesaksian, minat dan rasa ingin tahu, pikiran dan penalaran, logika, bahasa, dan kebutuhan hidup manusia .
2.3. CARA MENCAPAI KEBENARAN
Dalam sejarah kehidupan, manusia selalu berusaha untuk mencari kebenaran. Dan sepanjang sejarah itu pula perdebatan mengenai arti dan cara mencapai kebenaran diperdebatkan.
a. Zaman Yunani Kuno
Diawali oleh Socrates ( ± 469-399) sebagai tokoh yang patut disebut mengawali pembicaraan mengenai kebenaran. Meskipun tidak secara langsung berbicara mengenai kebenaran ilmiah tetapi ia tidak menyetujui relativitas yang terdapat pada kaum sophis. Menurutnya terdapat kebenaran objektif, ada kelakuan yang baik dan ada kelakuan yang tidak baik; ada tidakan yang pantas dan ada yang tidak pantas. Socrates telah meletakkan dasar bagi berkembangnya gagasan tentang adanya kebenaran (Bertens, 1991; 86). Pendapat Socrates dilanjutkan oleh Plato (427-322 SM). Menurut Plato kebenaran merupakan ketak-tersembunyian adanya. Hal ini berarti selama kita masih terikat pada yang ada (the being) saja tanpa masuk adanya dari yang ada itu kita belum berjumpa dengan kebenaran karena adanya (being) itu masih tersembunyi. Barulah dengan hilangnya atau diambilnya selubung yang menutup adanya dari yang ada itu terhadap mata batin kita, maka terbukalah adanya dan serentak dengan itu tampillah kebenaran (Verhaak & Haryono, 1991; 126).
Aristoteles (384-322) lebih melihat kebenaran dari cara yang dipakai pengenal melalui suatu sistem berfikir ilmiah yang dikenal dengan logika. Berkaitan dengan ini dia mengemukakan bahwa cara berfikir ilmiah itu terdiri dari pengertian, petimbangan, dan penalaran. Menurutnya, pengertian mengungkapkan adanya 10 kategori yaitu substansi, kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, keadaan, mempunyai, berbuat, menderita. Segala pengertian dapat digabungkan sehingga membentuk suatu pertimbangan. Dengan petimbangan tersebut dapat digabungkan sehingga menghasilkan silogisme (Hadiwiyono, 1980; 45-47).

b. Zaman Abad Pertengahan
Tokoh yang patut disebut ddalam abad pertengahan ini adalah Thomas Aquinas (1224-1274). Thomas Aquinas mendefinisikan kebenaran sebagai “adequatio rei et intellectus” yaitu kesesuaian, kesamaan pikiran dengan hal, benda. Oleh karena itu kebenaran merupakan istilah transendental yang mengena kepada semua yang ada; dalam arti tertentu kebenaran bukanlah suatu pernyataan tentang cara hal-hal berada tetapi melulu hal-hal itu sendiri (Bagus, 1996; 415).
Menurut Wibisono (1999) pada zaman abad pertengahan ini kita tidak bisa melupakan para filsuf Arab seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan Al-Ghazaly. Mereka telah menyebarkan filsafat Aristoteles ke Cordova Spanyol dan kemudian diwariskan serta dikembangkan oleh para kaum Patristik dan Skolastik di dunia barat sehingga tepat apabila dikatakan jika orang-orang Yunani adalah Bapak Metode Ilmiah dan orang Muslim adalah Bapak angkatnya.





c. Zaman Modern
Pada zaman modern ini diwarnai dengan timbulnya aliran-aliran tentang perolehan ilmu pengetahuan atau kebenaran ilmiah. Diantaranya adalah Rasionalisme, Empirisme dan Kritisisme. Tiga tokoh besar yang mewakili ketiga aliran tersebut adalah Rene Descartes, David Hume, dan Immanuel Kant.
· Rasionalisme
Aliran rasionalisme ini secara luas merupakan pendekatan filosofis yang menekankan adanya akal budi atau rasio sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi (Hadiwiyono, 1980, 2; 18). Peletak dasar dari aliran ini adalah Rene Descarte (1596-1650). Menurut Descartes, cara untuk membedakan ada tidaknya kebenaran adalah ada tidaknya ide yang jelas dan terpilah-pilah mengenai sesuatu (idea clara et distincta). Akibat pernyataan itu lebih lanjut adalah isi ide yang jelas dan terpilah-pilah itu menjadi benar sehingga kebenaran disamakan dengan idea tersebut. Idea itu pertama-tama terdapat dalam subjek pengetahuan, maka kebenaran-pun demikian, tanpa ada hubungan dengan dunia luar, maka kebenaran hanya sebagai suatu kesimpulan dari adanya kebenaran dalam idea tersebut. Terwujudnya kebenaran ditegaskan sebagai suatu kenyataan (Hadiwiyono, 1980; 18).





· Empirisme
David Hume – sebagai tokoh peletak dasar bagi empirisme – menolak rasionalisme mengatakan bahwa pengenalan sejati berasal dari rasio. Sanggahan Hume ini secara konsekuen terdapat dalam penjelasannya tentang tidak adanya substansi dalam kesadaran kita. Baginya kesatuan ciri-ciri yang disebut substansi oleh rasionalisme hanyalah fiksi, sekumpulan kesan-kesan (a bundle of collection of perception), substansi hanyalah sekumpulan persepsi saja. Menurutnya hakekat ide-ide itu selalu empiris (Yumartana, 1993; 21).
Aliran empirisme secara umum merupakan aliran filsafat yang berpendapat bahwa empiri atau pengalamanlah yang menjadi satu0satunya sumber pengetahuan baik pengalaman lahiriyah atau batiniyah. Informasi yang disajikan kepada kita berguna secara fundamental sebagai ilmu pengetahuan. Akal budi tidak dapat memberikan kepada kita pengetahuan tentang realitas tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera kita (Bagus, 1996; 31-38)
· Kritisisme
Immanul Kant adalah peletak dasar dari aliran kritisisme. Dalam arti luas, kritisisme merupakan sebuah epistemologi yang menempatkan akal budi sebagai nilai yang amat tinggi tetapi akal budi memiliki keterbatasan. Oleh karena itu Kant mencoba mendamikana rasionalisme dengan empirisme dengan berpendapat bahwa pengetahuan bersifat sintesis. Pengetahuan inderawi atau empirisme merupakan sintesis dari pengamatan ruang dan waktu. Kemudian pengetahuan akal merupakan sintesis pengetahuan. Implikasinya yang dihasilkan bukanlah pengetahuan das ding an sich, untuk itu rasio dan akal budi memberi arah kepada akal ketika tidak mampu mengetahuinya. Kant menyebutnya sebagai idealisme transdental atau idealiseme kritis (Hadiwiyono, 1980, 2; 63-82).

2.4. Ilmu Pengetahuan dalam Filsafat Modern
2.4.1. Positivisme
Abad ke-19 dapat dikatakan sebagai abad positivisme – dengan tokohnya Auguste Comte (1798-1857) -, karena pengaruh aliran ini demikian kuatnya dalam dunia modern. Filsafat menjadi praktis bagi tingkah laku manusia sehingga tidak lagi memandang penting berfikir yang bersifat abstrak (Wibisono, 1996;1).
Positivisme kata kuncinya terletak pada kata positif itu sendiri yaitu lawan dari kahayal, merupakan sesuatu yang riil dan objek penyelidikannya didasarkan pada kemampuan akal (Wibisono, 1996; 37). Kata positif juga lawan dari sesuatu yang tidak bermanfaat dan disinilah terjadi progress (kemajuan). Positif juga berarti jelas dan tepat. Disinilah diperlukan filsafat yang mampu memberi atau mebeberkan fenomena dengan tepat dan jelas. Positif juga lawan dari kata negatif dan ada keterkaitan selalu dengan masalah yang menuju kepada penataan atau penertiban.
Penggilongan ilmu pengetahuan oleh Comte didasarkan kepada sejarah ilmu itu sendiri yang menunjuk adanya gejala yang umum yang mempunyai sifat sederhana menuju kepada gejala yang komplek dan semakin konkret. Ilmu-ilmu yang dimaksud adalah ilmu pasti (matematika) dan secara berturut-turut astronomi, fisika, kimia, biologi, dan akhirnya fisika sosial atau sosiologi (Wibisono, 1996; 25). Penggolongan tersbut menyaratkan adanya perkembangan ilmu yang lambat dan cepat. Yang paling cepat perkembangannya adalah yang sederhana dan umum objeknya. Dan ada yang paling lambat perkembangannya adalah yang paling kompleks objek permasalahannya, misalnya fisika sosial.
Sejarah manusia berkembang menurut tiga tahap yaitu tahap teologi atau fiktif, tahap metafisik atau abstrak, dan tahap positif atau riil (Wibisono, 1996; 11). Tahap teologi atau fiktif merupakan tahap dimana manusia menggambarkan fenomena alam sebagai produk dari tindakan langsung, hal yang berifat supranatural. Pada tahap ini manusia mencari dan menemukan sebab yang pertama dan tujuan akhir segala sesuatu yang ada dengan selalu mengkontekstualisasikan dengan hal yang sifatnya mutlak.
Tahap metafisik merupakan tahap dimana kekuatan-kekuatan supranatural digantikan oleh kekuatan yang bersifat abstrak, yang dipercaya mampu mengungkapkan rahasia fenomena yang dapat diamati. Dogma-dogma telah ditingglakan dan kemampuan akal budi manusia dikembangkan secara maksimal sehingga kekuatan yang bersifat magis digantikan dengan analisis berfikir untuk membedakan yang natural dan supranatural, yang fisik dan metafisik sehingga manusia berperan sebagai subjek yang berjaraak dengan objek. Comte menggambarkan sebagai tahap perkembangan manusia dari sifat ketergantungan menuju sifat mandiri atau dewasa. Tahap ini merupakan masa peralihan yang penuh konflik dan merupakan tahap yang menentukan menuju tahap positivisme. Tahap ketiga adalah postivisme yaitu orang mulai menoleh, mencari sebab-sebab terakhir dari kejadian alam, kemudian berubah kepada penemuan hukum-hukum yang menyelimuti dengan menggunakan pengamatan dan pemikiran. Tahap ini merupakan tahap science dengan tugas pokok memprediksi fenomena alam dalam rangka memanfaatkannya. Manusia telah sampai pada pengetahuan yang positif yang dapat dicapai melalui observasi, eksperimen, komparasi dan hukum-hukum umum. Pengetahuan yang demikian menunjuk pada pengetahuan yang pasti, riil, jelas dan bermanfaat.
Comte dengan ilmu pengetahuan positifnya, yang pada tahap akhir perkembangan akal budi manusia menjadi pedoman hidup dan landasan kultural, institusional dan kenegaraan untuk menuju masyarakat yang maju dan tertib, merdeka dan sejahtera. Bangunan ilmu pengetahuan positif itu adalah sebagai berikut.
Asumsi pertama, ilmu pengetahuan harus bersifat objektif (bebas nilai dan netral). Objektivitas pengetahuan berlangsung dari dua pihak, pihak subjek dan objek. Pada pihak subjek seorang ilmuwan tidak boleh membiarkan dirinya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam dirinya sendiri misalnya sentimen, penilaian etnis, kepentingan pribadi atau kelompok, kepercayaan agama, filsafat dan lain sebagainya yang bisa mempengaruhi objektivitas dari objek yang sedang diamati. Pada pihak objek, aspek-aspek dan dimensi-dimensi lain yang tidak bisa diukur dalam onservasi misalnya roh atau jiwa, tidak dapat ditolerir keberadannya. Laporan atau teori-teori ilmiah hanya menjelaskan fakta-fakta dan kejadian-kejadian yang dapat diobservasi saja. Asumsi kedua, ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang berulangkali terjadi. Andaikata ilmu pengetahuan hanya diarahkan kepada hal-hal unik, yang hanya sekali saja terjadi, maka pengetahuan itu tidak dapat membantu kita untuk meramalkan atau emamstikan hal-hal yang akan terjadi. Padhal rmalan atau prediksi merupakan suatu tujuan terpenting ilmu pengetahuan.
Asumsi ketiga, ilmu pengetahuan menyoroti setiap fenomena atau kejadian alam dari saling ketergantungan antar hubungannya dengan fenomena-fenomena lain. Mereka diandaikan saling berhubungan satu sama lain dan membentuk suatu sistem yang bersifat mekanis. Perhatian ilmuwan bukan diarahkan kepada hakekat dari gejal-gejala melainkan pada relasi-relasi luar khususnya relasi sebab akibat, antara benda-benda, gejala-gejala atau kejadian-kejadian.
Usaha Comte untuk merumuskan suatu ilmu pengetahuan yang bersifat positif, objektif, ilmiah, dan universal pada akhirnya membawa dirinya pada ilmu pasti, dan studinya yang mendalam tentang hal ini mendorong dia pada kesimpulan bahwa ilmu pasti mempunyai tingkat kebenaran yang tertinggi, bebas dari penilaian-penilaian subjektuf dan berlaku universal. Oleh sebab itu suatu penjelasan tentang fenomena tanpa disertai dengan pertimbangan ilmu pasti (matematika dan statistika) adalah non-sense belaka. Tanpa ilmu pasti ilmu pengetahuan akan kembali menjadi metafisika (Abidin, 2000; 121-124).
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologi mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu, bagaimana wujud hakikinya, serta bagaimana hubungannya dengan daya tangkap manusia yang berupa berpikir, merasa, dan meng-indera yang membuahkan pengetahuan. Objek telaah Ontologi tersebut adalah yang tidak terlihat pada satu perwujudan tertentu, yang membahas tentang yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam semua bentuknya. Adanya segala sesuatu merupakan suatu segi dari kenyataan yang mengatasi semua perbedaan antara benda-benda dan makhluk hidup, antara jenis-jenis dan individu-individu.
Dari pembahasannya memunculkan beberapa pandangan yang dikelompokkan dalam beberapa aliran berpikir, yaitu:1. Materialisme;Aliran yang mengatakan bahwa hakikat dari segala sesuatu yang ada itu adalah materi. Sesuatu yang ada (yaitu materi) hanya mungkin lahir dari yang ada.2. Idealisme (Spiritualisme);Aliran ini menjawab kelemahan dari materialisme, yang mengatakan bahwa hakikat pengada itu justru rohani (spiritual). Rohani adalah dunia ide yang lebih hakiki dibanding materi.3. Dualisme;Aliran ini ingin mempersatukan antara materi dan ide, yang berpendapat bahwa hakikat pengada (kenyataan) dalam alam semesta ini terdiri dari dua sumber tersebut, yaitu materi dan rohani.4. Agnotisisme.Aliran ini merupakan pendapat para filsuf yang mengambil sikap skeptis, yaitu ragu atas setiap jawaban yang mungkin benar dan mungkin pula tidak.






2.4.2. Epistemologi
Objek telaah epistemologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang dan bagaimana mengetahuinya, bagaimana membedakan dengan yang lain. Jadi berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu tentang sesuatu hal. Landasan epistemologi adalah proses apa yang memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika, bagaimana cara dan prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan keindahan seni, serta apa definisinya. Epistemologi moral menelaah evaluasi epistemik tentang keputusan moral dan teori-teori moral. Dalam epistemologi muncul beberapa aliran berpikir, yaitu:1. Empirisme;Yang berarti pengalaman (empeiria), dimana pengetahuan manusia diperoleh dari pengalaman inderawi.2. Rasionalisme;Tanpa menolak besarnya manfaat pengalaman indera dalam kehidupan manusia, namun persepsi inderawi hanya digunakan untuk merangsang kerja akal. Jadi akal berada diatas pengalaman inderawi dan menekankan pada metode deduktif.3. Positivisme;Merupakan sistesis dari empirisme dan rasionalisme. Dengan mengambil titik tolak dari empirisme, namun harus dipertajam dengan eksperimen, yang mampu secara objektif menentukan validitas dan reliabilitas pengetahuan.4. Intuisionisme.Intuisi tidak sama dengan perasaan, namun merupakan hasil evolusi pemahaman yang tinggi yang hanya dimiliki manusia. Kemampuan ini yang dapat memahami kebenaran yang utuh, yang tetap dan unik.
2.4.3. Aksiologi
Aksiologi adalah filsafat nilai. Aspek nilai ini ada kaitannya dengan kategori: (1) baik dan buruk; serta (2) indah dan jelek. Kategori nilai yang pertama di bawah kajian filsafat tingkah laku atau disebut etika, sedang kategori kedua merupakan objek kajian filsafat keindahan atau estetika.1. Etika
Etika disebut juga filsafat moral (moral philosophy), yang berasal dari kata ethos (Yunani) yang berarti watak. Moral berasal dari kata mos atau mores (Latin) yang artinya kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia istilah moral atau etika diartikan kesusilaan. Objek material etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia, sedang objek formal etika adalah kebaikan atau keburukan, bermoral atau tidak bermoral.
Moralitas manusia adalah objek kajian etika yang telah berusia sangat lama. Sejak masyarakat manusia terbentuk, persoalan perilaku yang sesuai dengan moralitas telah menjadi bahasan. Berkaitan dengan hal itu, kemudian muncul dua teori yang menjelaskan bagaimana suatu perilaku itu dapat diukur secara etis. Teori yang dimaksud adalah Deontologis dan Teologis.
a. Deontologis.
Teori Deontologis diilhami oleh pemikiran Immanuel Kant, yang terkesan kaku, konservatif dan melestarikan status quo, yaitu menyatakan bahwa baik buruknya suatu perilaku dinilai dari sudut tindakan itu sendiri, dan bukan akibatnya. Suatu perilaku baik apabila perilaku itu sesuai norma-norma yang ada.


b. Teologis
Teori Teologis lebih menekankan pada unsur hasil. Suatu perilaku baik jika buah dari perilaku itu lebih banyak untung daripada ruginya, dimana untung dan rugi ini dilihat dari indikator kepentingan manusia. Teori ini memunculkan dua pandangan, yaitu egoisme dan utilitarianisme (utilisme). Tokoh yang mengajarkan adalah Jeremy Bentham (1742 – 1832), yang kemudian diperbaiki oleh john Stuart Mill (1806 – 1873).
2. Estetika
Estetika disebut juga dengan filsafat keindahan (philosophy of beauty), yang berasal dari kata aisthetika atau aisthesis (Yunani) yang artinya hal-hal yang dapat dicerap dengan indera atau cerapan indera. Estetika membahas hal yang berkaitan dengan refleksi kritis terhadap nilai-nilai atas sesuatu yang disebut indak atau tidak indah.
Dalam perjalanan filsafat dari era Yunani kuno hingga sekarang muncul persoalan tentang estetika, yaitu: pertanyaan apa keindahan itu, keindahan yang bersifat objektif dan subjektif, ukuran keindahan, peranan keindahan dalam kehidupan manusia dan hubungan keindahan dengan kebenaran. Sehingga dari pertanyaan itu menjadi polemik menarik terutama jika dikaitkan dengan agama dan nilai-nilai kesusilaan, kepatutan, dan hukum.




BAB III
FILSAFAT PENDIDIKAN

3.1. Pengertian Filsafat Pendidikan
Merupakan terapan dari filsafat umum, maka selama membahas filsafat pendidikan akan berangkat dari filsafat. Filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai. Dalam filsafat terdapat berbagai mazhab/aliran-aliran, seperti materialisme, idealisme, realisme, pragmatisme, dan lain-lain. Karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat beraneka ragam alirannya, maka dalam filsafat pendidikan pun kita akan temukan berbagai aliran, sekurang-kurnagnya sebanyak aliran filsafat itu sendiri. Brubacher (1950) mengelompokkan filsafat pendidikan pada dua kelompok besar, yaitua. Filsafat pendidikan “progresif” Didukung oleh filsafat pragmatisme dari John Dewey, dan romantik naturalisme dari Roousseau
b. Filsafat pendidikan “ Konservatif”. Didasari oleh filsafat idealisme, realisme humanisme (humanisme rasional), dan supernaturalisme atau realisme religius. Filsafat-filsafat tersebut melahirkan filsafat pendidikan esensialisme, perenialisme,dan sebagainya.




3.2. Aliran-aliran dalam filsafat Pendidikan
3.2.1. Filsafat Pendidikan Idealisme
Filsafat Idealisme memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi, bukan fisik. Pengetahuan Syang diperoleh melaui panca indera adalah tidak pasti dan tidak lengkap. Aliran ini memandang nilai adalah tetap dan tidak berubah, seperti apa yang dikatakan baik, benar, cantik, buruk secara fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi. Tokoh-tokoh dalam aliran ini adalah: Plato, Elea dan Hegel, Emanuael Kant, David Hume, Al Ghazali3.2.2. Filsafat Pendidikan Realisme
Filsafat Pendidikan Realisme merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualitis. Realisme berpendapat bahwa hakekat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia ruhani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan objek pengetahuan manusia. Beberapa tokoh yang beraliran realisme: Aristoteles, Johan Amos Comenius, Wiliam Mc Gucken, Francis Bacon, John Locke, Galileo, David Hume, John Stuart Mill.
3.2.3. Filsafat Pendidikan Materialisme
Filsafat Pendidikan Materialisme berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan rohani, spiritual atau supernatural. Beberapa tokoh yang beraliran materialisme: Demokritos, Ludwig Feurbach

3.2.4. Filsafat Pendidikan Pragmatisme
Filsafat Pendidikan Pragmatisme dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami. Beberapa tokoh yang menganut filsafat ini adalah: Charles sandre Peirce, wiliam James, John Dewey, Heracleitos.3.2.5. Filsafat Pendidikan Eksistensialisme
Filsafat Pendidikan Eksistensialisme memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Secara umum, eksistensialisme menekankn pilihan kreatif, subjektifitas pengalaman manusia dan tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas. Beberapa tokoh dalam aliran ini: Jean Paul Satre, Soren Kierkegaard, Martin Buber, Martin Heidegger, Karl Jasper, Gabril Marcel, Paul Tillich3.2.6. Filsafat Pendidikan Progresivisme
Filsafat Pendidikan Progresivisme bukan merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan. Beberapa tokoh dalam aliran ini : George Axtelle, william O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B.Thomas, Frederick C. Neff

3.2.7. Filsafat Pendidikan esensialisme Esensialisme
Filsafat Pendidikan Esensialisme adalah suatu filsafat pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik pada trend-trend progresif di sekolah-sekolah. Mereka berpendapat bahwa pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral di antara kaum muda. Beberapa tokoh dalam aliran ini: william C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed dan Isac L. Kandell.
3.2.8. Filsafat Pendidikan Perenialisme
Merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji. Beberapa tokoh pendukung gagasan ini adalah: Robert Maynard Hutchins dan ortimer Adler.3.2.9. Filsafat Pendidikan rekonstruksionisme
merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang. Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil. Beberapa tokoh dalam aliran ini:Caroline Pratt, George Count, Harold Rugg. 3.3. Fenomena ”Hidup Lebih Maju”
Setiap orang, pasti menginginkan hidup bahagia. Salah satu diantaranya yakni hidup lebih baik dari sebelumnya atau bisa disebut hidup lebih maju. Hidup maju tersebut didukung atau dapat diwujudkan melalui pendidikan. Dikaitkan dengan penjelasaan diatas, menurut pendapat saya filsafat pendidikan yang sesuai atau mengarah pada terwujudnya kehidupan yang maju yakni filsafat yang konservatif yang didukung oleh sebuah idealisme, rasionalisme(kenyataan). Itu dikarenakan filsafat pendidikan mengarah pada hasil pemikiran manusia mengenai realitas, pengetahuan, dan nilai seperti yang telah disebutkan diatas.
Jadi, aliran filsafat yang pas dan sesuai dengan pendidikan yang mengarah pada kehidupan yang maju menurut pikiran saya yakni filsafat pendidikan progresivisme (berfokus pada siswanya). Tapi akan lebih baik lagi bila semua filsafat diatas bisa saling melengkapi.





BAB IV
Hubungan Filsafat Ilmu Dengan Ilmu Pengetahuan Alam

4.1. Jembatan antara IPA dengan Filsafat
Frank (dalam Soeparmo, 1984), dengan mengambil sebuah rantai sebagai perbandingan, menjelaskan bahwa fungsi filsafat ilmu pengetahuan alam adalah mengembangkan pengertian tentang strategi dan taktik ilmu pengetahuan alam. Rantai tersebut sebelum tahun 1600, menghubungkan filsafat disatu pangkal dan ilmu pengetahuan alam di ujung lain secara berkesinambungan. Sesudah tahun 1600, rantai itu putus. Ilmu pengetahuan alam memisahkan diri dari filsafat. Ilmu pengetahuan alam menempuh jalan praktis dalam menurunkan hukum-hukumnya. Menurut Frank, fungsi filsafat ilmu pengetahuan alam adalah menjembatani putusnya rantai tersebut dan menunjukkan bagaimana seseorang beranjak dari pandangan common sense (pra-pengetahuan) ke prinsip-prinsip umum ilmu pengetahuan alam.
Filsafat ilmu pengetahuan alam bertanggung jawab untuk membentuk kesatuan pandangan dunia yang di dalamnya ilmu pengetahuan alam, filsafat dan kemanusian mempunyai hubungan erat. Sastrapratedja (1997), mengemukakan bahwa ilmu-ilmu alam secara fundamental dan struktural diarahkan pada produksi pengetahuan teknis dan yang dapat digunakan. Ilmu pengetahuan alam merupakan bentuk refleksif (relefxion form) dari proses belajar yang ada dalam struktur tindakan instrumentasi, yaitu tindakan yang ditujukan untuk mengendalikan kondisi eksternal manusia. Ilmu pengetahuan alam terkait dengan kepentingan dalam meramal (memprediksi) dan mengendalikan proses alam.

4.2. Ilmu Pengetahuan sebagai penjabaran pemikiran positifisme
Positivisme menyamakan rasionalitas dengan rasionalitas teknis dan ilmu pengetahuan dengan ilmu pengetahuan alam. Menurut Van Melsen (1985), ciri khas pertama yang menandai ilmu alam ialah bahwa ilmu itu melukiskan kenyataan menurut aspek-aspek yang mengizinkan registrasi inderawi yang langsung. Hal kedua yang penting mengenai registrasi ini adalah bahwa dalam keadaan ilmu alam sekarang ini registrasi itu tidak menyangkut pengamatan terhadap benda-benda dan gejala-gejala alamiah, sebagaimana spontan disajikan kepada kita. Yang diregistrasi dalam eksperimen adalah cara benda-benda bereaksi atas “campur tangan” eksperimental kita. Eksperimentasi yang aktif itu memungkinkan suatu analisis jauh lebih teliti terhadap banyak faktor yang dalam pengamatan konkrit selalu terdapat bersama-sama. Tanpa pengamatan eksperimental kita tidak akan tahu menahu tentang elektron-elektron dan bagian-bagian elementer lainnya. Ilmu pengetahuan alam mulai berdiri sendiri sejak abad ke 17. Kemudian pada tahun 1853, Auguste Comte mengadakan penggolongan ilmu pengetahuan. Pada dasarnya penggolongan ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh Auguste Comte (dalam Koento Wibisono, 1996), sejalan dengan sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri, yang menunjukkan bahwa gejala-gejala dalam ilmu pengetahuan yang paling umum akan tampil terlebih dahulu. Dengan mempelajari gejala-gejala yang paling sederhana dan paling umum secara lebih tenang dan rasional, kita akan memperoleh landasan baru bagi ilmu-ilmu pengetahuan yang saling berkaitan untuk dapat berkembang secara lebih cepat.
Dalam penggolongan ilmu pengetahuan tersebut, dimulai dari Matematika, Astronomi, Fisika, Ilmu Kimia, Biologi dan Sosilogi. Ilmu Kimia diurutkan dalam urutan keempat. Penggolongan tersebut didasarkan pada urutan tata jenjang, asas ketergantungan dan ukuran kesederhanaan. Dalam urutan itu, setiap ilmu yang terdahulu adalah lebih tua sejarahnya, secara logis lebih sederhana dan lebih luas penerapannya daripada setiap ilmu yang dibelakangnya (The Liang Gie, 1999). Pada pengelompokkan tersebut, meskipun tidak dijelaskan induk dari setiap ilmu tetapi dalam kenyataannya sekarang bahwa fisika, kimia dan biologi adalah bagian dari kelompok ilmu pengetahuan alam.Ilmu kimia adalah suatu ilmu yang mempelajari perubahan materi serta energi yang menyertai perubahan materi.
Menurut ensiklopedi ilmu (dalam The Liang Gie, 1999), ilmu kimia dapat digolongkan ke dalam beberapa sub-sub ilmu yakni: kimia an organik, kimia organik, kimia analitis, kimia fisik serta kimia nuklir.Selanjutnya Auguste Comte (dalam Koento Wibisono, 1996) memberi efinisi tentang ilmu kimia sebagai “… that it relates to the law of the phenomena of composition and decomposition, which result from the molecular and specific mutual action of different subtances, natural or artificial” ( arti harafiahnya kira-kira adalah ilmu yang berhubungan dengan hukum gejala komposisi dan dekomposisi dari zat-zat yang terjadi secara alami maupun sintetik). Untuk itu pendekatan yang dipergunakan dalam ilmu kimia tidak saja melalui pengamatan (observasi) dan percobaan (eksperimen), melainkan juga dengan perbandingan (komparasi). Jika melihat dari sejarah perkembangan ilmu pengetahuan alam, pada mulanya orang tetap mempertahankan penggunaan nama/istilah filsafat alam bagi ilmu pengetahuan alam. Hal ini dapat dilihat dari judul karya utama dari pelopor ahli kimia yaitu John Dalton: New Princiles of Chemical Philosophy. Berdasarkan hal tersebut maka sangatlah beralasan bahwa ilmu pengetahuan alam tidak terlepas dari hubungan dengan ilmu induknya yaitu filsafat. Untuk itu diharapkan uraian ini dapat memberikan dasar bagi para ilmuan IPA dalam merenungkan kembali sejarah perkembangan ilmu alam dan dalam pengembangan ilmu IPA selanjutnya.

















KESIMPULAN

1. Kita sangat perlu mempelajari teori pendidikan karena yang kita hadapi adalah manusia.
2. Bagi para pendidik atau guru mempelajari filsafat itu akan besar sekali manfaatnya. Seorang guru dituntut memiliki wawasan yang luas mengenai profesinya. Ia harus mengetahui hakekat pendidikan dan hekekat tujuan pendidikan. Dasar-dasar pendidikan dan tehnik-tehnik penyampaian materi pelajaran sehingga mudah menjadi milik anak
3. Masalah filsafat bukanlah sesuatu yang problematic (tidak terlalu dipermasalahkan) sebab setiap perbuatan atau tindakan kita merupakan pencerminan dari filsafat hidup kita masing-masing
4. Berfilsafat adalah berpikir, tetapi tidak semua tindakan berpikir merupakan berfilsafat. Berpikir yang filosofis adalah berpikir yang memiliki sifat-sifat :
- Berfilsafat adalah berpikir dengan menggunakan disiplin berpikir yang tinggi.
- Berfilsafat adalah berpikir secara sistematis.
- Berfilsafat adalah menyusun suatu skema konsepsi
- Filsafat itu memiliki daya cukup yang menyeluruh
5. Filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperolehnya. Filsafat ilmu merupakan suatu bentuk pemikiran secara mendalam yang bersifat lanjutan atau secondary reflexion. Refleksi sekunder seperti itu merupakan syarat mutlak untuk menentang bahaya yang menjurus kepada keadaan cerai berai serta pertumbuhan yang tidak seimbang dari ilmu-ilmu yang ada. Tetapi juga Filsafat ilmu pengetahuan membahas sebab musabab pengetahuan dan menggali tentang kebenaran, kepastian, dan tahap-tahapnya, objektivitas, abstraksi, intuisi, dan juga pertanyaan mengenai “dari mana asalnya dan kemana arah pengetahuan itu?”
6. Antara definisi filsafat dan ilmu pengetahuan memang hampir mirip namun kalau kita menyimak bahwa di dalam definisi ilmu pengetahuan lebih menyoroti kenyataan tertentu yang menjadi kompetensi bidang ilmu pengetahuan masing-masing, sedangkan filsafat lebih merefleksikan kenyataan secara umum yang belum dibicarakan di dalam ilmu pengetahuan
7. Filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai.
8. Mamfaat mempelajari teori pendidikan :a. Untuk memberi arah serta tujuan yang akan dicapai.b. Untuk memperkecil kesalahan dalam praktek.c. Berfungsi sebagai tolak ukur.
9. Konsepsi dasar tentang pendidikan :a. Bahwa pendidikan berlangsung seumur hidup.b. Bahwa tanggung jawab pendidikan merupakan tanggung jawab bersama.c. Pendidikan merupakan suatu keharusan.
10. Ilmu pengetahuan alam merupakan bentuk refleksif (relefxion form) dari proses belajar yang ada dalam struktur tindakan instrumentasi, yaitu tindakan yang ditujukan untuk mengendalikan kondisi eksternal manusia
11. Positivisme menyamakan rasionalitas dengan rasionalitas teknis dan ilmu pengetahuan dengan ilmu pengetahuan alam. Dan kaitannya dengan Ilmu pengetahuan alam adalah ilmu itu melukiskan kenyataan menurut aspek-aspek yang mengizinkan registrasi inderawi yang langsung. Hal kedua yang penting mengenai registrasi ini adalah bahwa dalam keadaan ilmu alam sekarang ini registrasi itu tidak menyangkut pengamatan terhadap benda-benda dan gejala-gejala alamiah
12. Berdasarkan hal tersebut maka sangatlah beralasan bahwa ilmu pengetahuan alam tidak terlepas dari hubungan dengan ilmu induknya yaitu filsafat











DAFTAR PUSTAKA
Kneller, George F. 1971. Introduction to the Philosophy of Education. John Willey Sons Inc, New York.

Sadulloh, U. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. CV Alfabeta, Bandung.

Sindhunata. 2000. Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Kanisius, Yogyakarta

Soedijarto. 1993. Menuju Pendidikan Nasional yang Relevan dan Bermutu. Balai Pustaka, Jakarta.

Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. PT Bayu Indra Grafika, Yogyakarta.

Bahm,Archie, J., 1980., “What Is Science”, Reprinted from my Axiology; The Science Of Values;44-49, World Books, Albuquerqe, New Mexico, p.1,11.

Bertens, K., 1987., “Panorama Filsafat Modern”,Gramedia Jakarta, p.14, 16, 20-21, 26.

Koento Wibisono S. dkk., 1997., “FilsafatIlmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan”, Intan Pariwara,Klaten, p.6-7, 9, 16, 35, 79.

Koento Wibisono S., 1984., “Filsafat Ilmu Pengetahuan DanAktualitasnya Dalam Upaya Pencapaian Perdamaian Dunia Yang Kita Cita-Citakan”,Fakultas Pasca Sarjana UGM Yogyakarta p.3, 14-16.

____________________.,1996., “Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte”,Cet.Ke-2, Gadjah Mada University Press Yogyakarta, p.8, 24-26, 40.

____________________.,1999., “Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran DanPerkembangannya Sebagai Penakalah, Ditjen Dikti Depdikbud – Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta, p.1.

Nuchelmans,G., 1982., “Berfikir Secara Kefilsafatan: Bab X, Filsafat Ilmu Pengetahuan Alam,Dialihbahasakan Oleh Soejono Soemargono”, Fakultas Filsafat – PPPT UGMYogyakarta p.6-7.

Sastrapratedja,M., 1997., “Beberapa Aspek Perkembangan Ilmu Pengetahuan”, Makalah, Disampaikan Pada Internship Filsafat Ilmu Pengetahuan,UGM Yogyakarta 2-8 Januari 1997, p.2-3.
Soeparmo,A.H., 1984., “Struktur Keilmuwan Dan Teori Ilmu Pengetahuan Alam”, PenerbitAirlangga University Press, Surabaya, p.2, 11.

TheLiang Gie., 1999., Pengantar Filsafat Ilmu”, Cet. Ke-4, Penerbit LibertyYogyakarta, p.29, 31, 37, 61, 68, 85, 93, 159, 161.

REFERENSI:
Makalah dengan judul “ Penerapan Metode Belajar Aktif Sebagai Upaya Membantu Meningkatkan Prestasi Belajar Pada Siswa Kelas 6” tahun 2007 oleh Siti Djuwiriyah.Modul dengan judul “ Karakteristik Matematika dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Matematika” tahun 2004 oleh Sumardyono, S.Pd

Modul Kuliah Filsafat Pendidikan, Prof Imam Barnadib, Ph.D, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta, 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar