Rabu, 28 Januari 2009

ETIKA EKONOMI VS EKOLOGI

ETIKA EKONOMI VS ETIKA EKOLOGI

Oleh : A. Nanang Baskara, S. Si
Pemerhati Lingkungan Hidup.
(Kumpulan Mata Kuliah Ilmu Lingkungan, MIPA, UGM )





PENGRUSAKAN terhadap lingkungan hidup terjadi karena manusia berpaling dari alam, menjadi eksklusif dan berhadap-hadapan dengan alam serta menjadikan alam sebagai objek. Alam semata-mata bernilai sebagai alat untuk memuaskan kepentingan manusia. Alam dipandang hanya sebagai sumber daya atau barang yang berguna semata-mata untuk melayani kepentingan manusia. Manusia memandang alam semata-mata untuk keuntungan material.
Alam menjadi objek dengan nilai ekonomi saja. Hubungan manusia dengan alam tidak dilandasi, etika tetapi semata-mata dilandasi oleh standar keuntungan. Singkatnya, nilai-nilai etis seperti keadilan, solidaritas dan keseimbangan yang seharusnya ada dalam relasi manusia alam, digantikan dengan standar ekonomi dan keuntungan material. Demikianlah, etika ekonomi bertentangan dengan etika ekologi.
Ekonomi dan ekologi berasal dari akar kata yang sama yaitu kata oikos (Yunani), yang secara harfiah berarti rumah atau bumi. Ekonomi berbicara tentang pengaturan atau penataan tentang bumi. Sedangkan ekologi berarti tata alam alamiah atau falsafah tentang bumi atau alam raya sebagai keseluruhan.
Ekonomi justru harusnya membantu manusia menata atau mengatur bumi/alam sesuai dengan hukum dan norma alam, misalnya soal ekosistem dan daur alam. Misalnya, dalam ekonomi mestinya diatur sedemikian rupa sehingga sumber daya alam tidak dieksploitasi melampaui kemampuan alam mendaur generasi.
Sayangnya, seperti yang kita saksikan sekarang ini, ekonomi dipahami secara sangat sempit dan praktis. Ekonomi tidak lagi dilihat sebagai suatu sistem penataan alam dan sumber daya, tetapi lebih dipahami sebagai suatu cara mengeksploitasi dan melipatgandakan keuntungan dari sumber daya alam yang tersedia.

Bertolak Belakang
Ekonomi membangun standar nilai dan aturannya tersendiri yang bersandar pada hukum pertumbuhan dan pelipat-gandaan. Teknologi dan ekonomi berkolaborasi mengubah alam alamiah menjadi alam buatan yang mengabaikan tata alam atau ekologi. Teknologi menjadi alat mengeksploitasi sumber daya alam yang mengorbankan tata alam. Maka, etika ekonomi bertolak-belakang dengan etika ekologi. Etika ekologi menekankan ekosistem dan keberlanjutan kehidupan secara seimbang. Sedangkan etika ekonomi lebih menekankan pada pertumbuhan produksi dan permintaan pasar atau yang dikenal sebagai economic growth yang cenderung memboroskan sumber daya alam.
Kecenderungan etika ekonomi yang demikian berhadap-hadapan dengan tiga persoalan keterbatasan: sumber daya, sosial dan biosfer. Sumber daya bersifat terbatas, bukan hanya yang tak terbaharui (seperti fosil), tetapi juga yang terbarui (seperti pohon) kalau cara mengeksploitasinya tidak memperhatikan tata alam, khususnya daur alam.
Perubahan sosial juga membutuhkan waktu adaptasi sehingga pertumbuhan ekonomi yang super cepat dapat merusak tatanan sosial masyarakat. Contohnya, penggunaan HP sekarang ini mungkin tidak sejalan dengan kemampuan masyarakat menggunakannya secara tepat. Pasar cenderung memproduksi HP untuk kepentingan prestige dari pada fungsinya bagi kehidupan sosial, misalnya untuk efisiensi komunikasi. Kalau tiap tiga bulan orang cenderung ganti HP, hal ini menimbulkan masalah sosial yang serius, karena orang cenderung tak bisa menentukan prioritas dalam hidupnya. Boleh lapar asal punya HP. Itu salah satu contoh dampak etika ekonomi pertumbuhan pada keterbatasan sosial. Sedangkan keterbatasan biosfer lebih terkait dengan ketidakmampuan bumi memikul beban polusi akibat pertumbuhan ekonomi. Walaupun kini manusia mampu mengelola sampahnya dengan teknologi, alam tetap tak mampu memikul beban polusi yang begitu berat.
Perubahan cuaca akhir-akhir ini, disertai gejala alam yang agak ekstrem dan menimbulkan bencana yang cenderung besar, dapat dianggap sebagai akibat dari keterbatasan biosfer memikul beban pencemaran, terutama pencemaran udara. Ketika tulisan ini dibuat, ternyata di Eropa masih seperti musim panas, padahal mestinya sudah musim gugur. Memang ini berkat bagi masyarakat yang suka menikmati panas, tetapi gejala ini justru menunjukkan pembelotan musim dari tata alam, seperti biasanya.

Paradigma
Mengenai etika ekonomi dan etika ekologi yang semakin bertentangan, Larry Rasmussen, penulis buku Earth Economy, Earth Ethics (1996), mengemukakan bahwa penyebabnya adalah paradigma atau ideologi pertumbuhan dalam ekonomi. Rasmussen membedakan dua macam ekonomi yaitu Ekonomi Besar (Big Economy) atau ekonomi global, dan Ekonomi Raya (Great Economy) atau ekonomi alam.
Ekonomi Besar berjalan tanpa mengadopsi tata Ekonomi Raya, yaitu asas komunitas, keberlanjutan dan integritas. Pertumbuhan etika dan pertumbuhan spiritual diabaikan. Dengan berbagai kehancuran alam sekarang ini, sudah waktunya pembangunan ekonomi memperhatikan etika ekologi, yaitu nilai-nilai kehidupan yang bersandar pada komunitas, keberlanjutan, solidaritas dan integritas.
Dengan mengubah arah seperti itu maka Ekonomi Besar akan mengalami transformasi menjadi Ekonomi Raya. Yang berarti pula sebagai perubahan dari tata ekonomi rakus ke ekonomi bertanggung jawab. Perubahan dari liberalisme ke arah kebebasan yang benar yakni hidup dalam keseimbangan baik antar manusia maupun dengan seluruh oikos atau alam raya.
Hans Küng, penulis buku A Global Ethic for A Global Politic and A Global Economy (1997), aplikasi ekonomi liberal dan ekonomi sosial merupakan akar dari krisis ekologis. Dengan menyandarkan diri pada ekonomi pasar bebas, ekonomi liberal maupun ekonomi sosial mereduksi etika ekonomi menjadi etika bisnis. Ekonomi pasar bebas mereduksi etika ekonomi menjadi kebebasan individual, sedangkan dengan beban sosial mereduksi etika ekonomi menjadi sekadar kewajiban sosial dengan berasumsi bahwa etika akan berjalan dengan otomatis, padahal dalam kenyataannya tidaklah demikian. Baik ekonomi liberal maupun ekonomi sosial menerapkan paradigma pertumbuhan yang menjadikan alam sekadar menjadi komoditi untuk dieksploitasi dan dipasarkan. Akibatnya, seluruh umat manusia, di manapun berada ikut terpengaruh mengeksploitasi dan mencemari alam karena daya tarik produksi tinggi dan tekanan konsumsi tinggi. Dalam teori ekonomi pasar bebas, gagasan tentang kepentingan bersama (bonum commune) tidak mendapat tempat karena yang lebih penting adalah kebebasan individu yang memungkinkan terjadinya persaingan. Dalam situasi seperti itu keuntungan menjadi sama dengan moral atau menjadi satu-satunya standar moral. Dengan demikian manusia didorong menjadi homo economicus dalam tekanan perlombaan terus memproduksi dan terus mengkonsumsi lebih banyak dan makin banyak. Situasi ini sungguh sangat mempengaruhi seluruh pola berperilaku manusia masa kini, berjalan selalu tergesa-gesa, takut ketinggalan, hidup seperti terus terdesak, tak lagi mampu mengendalikan diri dalam semua aspek kehidupan.
Perlu dibangun suatu etika ekonomi yang seiring sejalan dengan etika ekologi. John B Cobb, penulis buku Sustaining the Common Good: A Christian Perspective on the Global Economy (1994), mengemukakan tujuh langkah menuju ekonomi berbasis ekologi.
Pertama, homo economicus harus diubah menjadi manusia dalam komunitas.
Kedua, komunitas di mana homo economicus adalah bagiannya harus dipahami tidak terbatas pada umat manusia.
Ketiga, kerusakan lingkungan harus diperhitungkan sebagai tindakan melawan kesejahteraan ekonomi manusia. Komunitas harus diperluas kepada generasi yang belum lahir dan kepada kesejahteraan seluruh spesies yang hidup di bumi.
Keempat, seluruh anggota komunitas raya, manusia dan yang bukan manusia, punya nilai intrinsic setara dengan nilainya bagi kepentingan yang lain. Misalnya, pisang bernilai konsumsi bagi manusia, kalong dan monyet, tetapi pisang tetap punya nilai bagi dirinya dan bukan sekadar untuk dikonsumsi.
Kelima, keanekaragaman umat manusia dan seluruh alam raya harus dipertahankan sebagai kekayaan keindahan yang harus dihargai dan dihormati oleh umat manusia.
Keenam, teknologi harus digunakan untuk meminimalkan biaya dalam pengelolaan sumber daya alam untuk kepentingan manusia. Artinya, teknologi tidak boleh merusak species lain dan bumi secara keseluruhan.
Ketujuh, manusia menyadari bahwa Allah memelihara seluruh ciptaan, menderita dan bersukacita dengan seluruh ciptaan-Nya. Maka, umat manusia terpanggil untuk berkarya memulihkan dan mengakhiri penderitaan serta memperkaya sukacita hidup di antara umat manusia dan seluruh ciptaan.
Ketujuh, langkah tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai adanya paradigma baru dalam etika ekonomi. Paradigma baru itu adalah kerja sama antara ekonomi dan ekologi membangun etika baru. Artinya, ekonomi dijalankan dengan mengacu pada norma-norma ekologi seperti keseimbangan komunitas, kerja sama seluruh unsur dan solidaritas menurut asas saling bergantung dan saling terhubung seluruh aspek dalam alam raya.

Perilaku
Norma-norma ini harus diterjemahkan ke dalam perilaku manusia melalui sikap adil, kasih, solidaritas dan memelihara seluruh unsur dalam alam. Singkatnya, manusia harus menumbuh-kembangkan kesadaran etis untuk bertanggung jawab menjaga dan memelihara ekosistem. Dalam konteks pembangunan Indonesia yang cenderung mengeksploitasi alam dan kurang disertai kesadaran menjaga dan memelihara alam, etika ekologi penting sekali menjadi acuan kebijakan ekonomi Indonesia. Walaupun kita sedang menghadapi kesulitan ekonomi, kita diingatkan untuk tidak mengorbankan lingkungan hidup kita demi mengejar kemajuan dan pertumbuhan ekonomi.
Pengrusakan hutan sudah memasuki tahap pengurbanan lingkungan hidup Indonesia. Karena itu sungguh-sungguh dibutuhkan suatu kesadaran lingkungan, etika lingkungan, etika ekologi yang peduli pada pemeliharaan hutan di Indonesia. Kita menghadapi banyak masalah lingkungan, namun yang terparah dan paling menentukan masa depan Indonesia adalah hutan.
Faith Doherty dalam Illegal Logging in Indonesia (2002), menyebut kasus-kasus pembalakan kayu secara ilegal di Indonesia sebagai forest crime. Sungguh ironis sekali karena sumber daya hutan kita terus dikorbankan untuk memenuhi pasar kayu dunia yang hanya menguntungkan negara-negara makmur seperti Amerika, Eropa, Jepang, Taiwan dan Cina, sementara rakyat kita semakin melarat dan diperberat dengan bencana alam seperti banjir dan longsor yang merusak pertanian dan pemukiman penduduk di berbagai tempat di Indonesia.
Krisis ekonomi yang sekarang ini dihadapi Indonesia, mungkin menjadi momentum bagi pemerintah untuk mengubah kebijakan ekonomi, menjadi ekonomi yang bertumpu pada kekuatan ekologi Indonesia. Kita mendorong rakyat membangun ekonomi yang cocok dengan lingkungan kita, pertanian sederhana yang tidak merusak lingkungan.
Mungkin ini hanya mimpi, tetapi tanpa perubahan paradigma, ekonomi Indonesia tidak akan semakin baik dalam persaingan global sekarang ini, tetapi akan semakin terpuruk dan mungkin ikut mempercepat datangnya kiamat dunia.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar